A.    SEJARAH

    Ancangan Trait & Factor dalam dunia konseling memiliki beberapa penamaan yang dikenal dengan ancangan rasional, dengan demikian masuk pada kelompok ancangan kognitif. “Minnesota point of view” dalam konseling juga digunakan untuk merujuk ancangan Trait & Factors, yang didirikan oleh Edmund Griffith Williamsom. Selain itu sebutan lain dari ancangan konseling Trait & Factors ialah “Directive Counseling”. Dua sebutan yang terakhir ini agaknya berkaitan dengan sifat ancangan konseling Williamson yang memberikan porsi lebih besar pada konselor dalam mengadakan intervensi.

     Pada mulanya merupakan ancangan konseli vocational, tetapi pada perkembangannya menjadi lebih peduli pada perkembangan total individu. Sehubungan dengan perkembangan ancangan konseling Trait & Factors tersebut, Pepinsky & Pepinsky mengidentifikasikannya menjadi tiga tahap. Tahap pertama ditandai dengan kepedulian ancangan pada cara mengukur ciri-ciri pribadi konseli, seperti aptitude, ability, interests, attitude, dan personality. Meskipun konseling ini bersifat rasional, logis, dan intelektual, tetapi dasar falsafahnya bukan rasionalisme atau esensialisme, namun berfalsafah personalisme yakni individu didekati sebagai sosok yang utuh dan secara keseluruhan perlu dikembangkan.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

B.     PANDANGAN TENTANG MANUSIA (HUMAN NATURE)

    Ada delapan hal pokok yang dapat disimpulkan dari pendapat Williamson mengenai manusia, sebagaimana akan dibahas sebagai berikut:

1.                Manusia dilahirkan dengan membawa potensi baik dan buruk. Williamson berbeda dengan Rouseau yang menganggap manusia pada dasarnya baik dan masyarakat atau lingkunganlah yang membentuk manusia menjadi jahat. Menurut williamson, kedua potensi tersebut ada dalam diri manusia dan akan berkembang tergantung interaksi dengan manusia atau lingkungannya.

2.          Manusia bergantung dan hanya akan berkembang secara optimal di tengah-tengah masyarakat. Manusia memerlukan orang lain dalam mengembangkan potensi dirinya. Aktualisasi diri akan dicapai dalam hubungangnya dan atau dengan bantuan orang lain.

3.                 Manusia ingin mencapai kehidupan baik (good life). Memperoleh kehidupan yang baik, dan lebih baik lagi merupakan kepedulian setiap orang. Misalnya seorang bapak berpayah-payah bekerja mencari nafkah, anak bersekolah, bersaing untuk memperoleh pendidikan tingkah tinggi, karyawan berlomba-lomba memperoleh kenaikan pangkat, dan sebagainya menjadi cermin bahwa manusia ingin memperoleh kehidupan yang baik.

4.      Manusia banyak berhadapan dengan “pengintroduksi” konsep hidup yang baik, yang menghadapkannya pada pilihan-pilihan.  Misalnya dalam keluarga, individu berkenalan dengan konsep hidup yang baik dengan orang tuanya. Di sekolah, individu memperolehnya dari guru serta teman-temannya.

5.             Hubungan manusia berkait dengan konsep alam semesta (the universe). Williamson menyatakan bahwa konsep alam semesta dan hubungan manusia terhadapnya sering terjadi salah satu dari: 1). Manusia menyendiri  dalam ketidakramahan alam semesta, atau 2). Alam bersahabat dan menyenangkan atau menguntungkan bagi manusia dan perkembangannya.

6.             Manusia merupakan pribadi yang unik. Sebagai contoh tentang dua individu yang melakukan aktivitas yang sama, misalnya kebiasaan belajarnya; yang satu mungkin lebih mudah menangkap pengertian melalui penglihatan sedang yang lain melalui aktivitas mendengarkan; yang pertama lebih senang menjadwal belajar pagi hari, sedang yang kedua pada malam hari; yang satu membutuhkan suasana tenang, sedangkan yang lain mungkin tidak terlalu terganggu dengan suasana agak gaduh dan sebagainya. Kenyataan-kenyataan diatas menunjukkan bahwa individu itu memiliki karakteristik dasar yang khas, berbeda antara satu individu dengan yang lain. 

7.             Manusia memiliki sifat-sifat yang umum. Disamping kita dapat menemukan keunikan individu, dapat pula kita amati adanya sifat-sifat yang umum dan terdapat pada manusia. Dengan keumuman sifat tersebut, manusia dapat dikelompokkan menjadi tipe-tipe.

8.          Manusia bukan penerima pasif bawaan dan lingkungannya. Manusia dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan atau aspek hereditas dan lingkungannya. Namun begitu, dijelaskan lebih lanjut, bahwa untuk sebagian besar manusia mengendalikan dan menguasai pembawaan dan lingkungannya. Selain itu manusia juga memiliki kemampuan untuk menyeleksi sebagian pengaruh lingkungan yang mengenainya. Jelaslah bahwa manusia aktif, bukan pasif dalam menerima pengaruh pembawaan dan lingkungan, meskipun tidak dapat dilepaskan dari peranan dan bantuan orang lain.

 

 C.    PERKEMBANGAN TINGKAH LAKU

    Harapan-harapan untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidup, sukses dalam cita-cita, tidak banyak mengalami masalah, dan memperoleh segala hal yang ideal dan mulia, sebenarnya merupakan dambaan setiap orang. Tetapi, pada kenyataannya,  hal itu tidak dapat dicapai setiap orang. Ada sejumlah orang yang tidak banyak menemui hambatan atau mengalami masalah dalam kehidupannya,  sebagian yang lain menemui masalah dalam kehidupan seseorang dapat dikatakan secara pasti memerlukan pemecahan, akan tetapi tidak setiap orang mampu menemukan cara pemecahan terbaiknya, sehingga memerlukan bantuan pihak lain-salah satunya melalui konseling. Konselor mempunyai tugas utama untuk membantu memecahkan masalah klien. Sebagai petugas profesional yang mempunyai tugas sedemikian itu, untuk dapat menjalankan tugas dengan baik diperlukan syarat-syarat tertentu. Di antara syarat- syarat itu: Pertama, ia harus paham betul tentang individu macam mana yang dikategorikan bermasalah beserta sumber penyebabnya. Kedua, ia harus pasti individu macam mana yang dapat dikatakan sehat atau ideal. Ketiga, ia harus yakin dengan kondisi-kondisi yang bagaimana yang dapat mengarahkan individu mencapai pribadi yang diidealkan. Persyaratan-persyaratan di atas, sudah barang tentu tidak mengabaikan persyaratan yang lain, yaitu keyakinannya tentang hakikat manusia sudah di bahas pada penggalan 1). Dapat dikatakan ketiga persyaratan di atas merupakan persyaratan lain yang perlu dipedomani konselor dalam menjalankan tugasnya.  Oleh karena itu pada bagian ini akan dibahas hal-hal mengenai:  perkembangan tingkah laku manusia yang pada dasarnya berkembang menjadi dua macam,  yaitu individu yang bebas masalah dan individu bermasalah.

1.  Masalah dan Faktor Penyebabnya

a). Jenis masalah

    Ada beberapa model pengkategorian masalah yang dapat kita ikuti. Pengkategorian masalah yang selama ini banyak dikenal adalah pengkategorian sosiologis dan psykologis. Pengkategorian secara sosiologis ini, misalnya membagi macam-macam masalah atas masalah pendidikan,  masalah keluarga,  ekonomi,  pergaulan dan sebagainya. Pengkategorian masalah secara sosiologis ini sekarang sudah mulai ditinggalkan. Model pengkategorian lain yang lebih banyak diikuti adalah pengkategorian secara psikologis.  Pengkategorian masalah secara psikologis yang terkenal dalam konseling trait and factor ada dan,  yaitu modelnya Bordin dan modelnya Pepinsky&  Pepinsky pengkategorian masalah menurut bordin adalah :

1). Dependence (bergantung),  Contoh: "Dalam setiap ulangan saya belum,  yakin atas kebenaran jawaban saya kalau tidak melihat jawaban teman saya". 

2). Lock of information (kurang informasi) Contoh: "Saya tidak berani datang ke rumahnya pak Amir,  jangan-jangan beliau nanti marah" (padahal sebenarnya Pak Amir orang yang baik hati dan ramah).  Seorang siswa memutuskan keluar sekolah karena tidak ada biaya,  padahal sebenarnya ada kesempatan untuk mendapatkan beasiswa.  Seorang siswa tidak mau masuki jurusan mesin,  padahal sebenarnya dia niemiliki bakat dalam bidang tersebut.

3). Self conflict (konflik diri),  Contoh: "Hari ini orang tua saya menyuruh saya pergi ke Surabaya,  tetapi hari ini juga saya ada janji dengan pacar saya,  apa yang harus saya perbuat. 

4). Choice anxiety (cemas memilih),  Contoh: "Tahun ini saya mengikuti UMPTN dengan memilih dua jurusan sesuai dengan ketentuannya,  yaitu pilihan pertama dan pilihan kedua.  Selain itu saya juga mendaftar di salah satu fakultas swasta. (PTS)  yang mutunya tidak kalah dengan PTN. Orang tua saya menyerahkan kepada saya sepenuhnya untuk memilih yang mana,  tetapi sampai sekarang ini saya belum dapat menentukan pilihan saya".

5). No problem (bukan masalah-masalah di atas),  dalam arti individu mengalami masalah yang tidak dapat digolongkan pada masalah-masalah di atas,  atau lain-lain.

Pengkategorian Pepinsky, yang dalam beberapa hal mirip dengan yang dikemukakan oleh Bordin,  adalah sebagai berikut:

1). Lack of assurance (kurang percaya pada diri sendiri),  Contoh: "Teman-teman maupun sebagian bapak ibu guru telah mendorong saya untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja,  tetapi saya kurang yakin apakah saya mampu".

2). Lack of information (kurang informasi)

3). Lock of skill (kurang keterampilan), Contoh: "tidak mengetahui cara membaca efisien tidak mengetahui menemukan ide pokok pada suatu kalimat ataupun paragraf,  tidak dapat mengatur jadwal harian.

4). Dependence (bergantung)

5). Self conflict (konflik diri)

6). Choice anxiety (cemas dalam menentukan pilihan).

b). Faktor-Faktor Penyebab

    Masalah-masalah,  sebagaimana dijabarkan di atas, dapat timbul karena faktor-faktor internal maupun ekstermal. Termasuk faktor internal bagi timbulnya masalah,  antara lain: 1). Individu banyak dipengaruhi kehidupan emosi, sehingga kemampuan berpikir rasionalnya terhambat. 2). Potensi-potensinya kurang berkembang atau tidak mendapat kesempatan berkembang secara penuh. 3). Kurang memiliki kontrol diri. 4). Memiliki kekurangan tertentu,  baik cacat fisik maupun mental,  dan yang menapakan faktor keturunan.

    Adapun yang tergolong faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya masalah individu antara lain: 1). Perlakuan orang tua,  sikap orang tua yang terlalu menekan,  menolak maupun melindungi merupakan sumber timbulnya masalah. 2). Kondisi lingkungan dan masyarakatnya(meliputi lingkungan fisik dan sosial) pengalaman atau sejarah pribadi yang menimbulkan trauma. 3). Ada tidaknya kesempatan mengembangkan diri,  baik yang menyangkut situasi maupun pendukung (orangnya). 

2).  Konsep Pribadi yang Ideal

    Pribadi ideal menurut ancangan trait and factor dapat dirumuskan sebagai berikut : pribadi yang ideal adalah apabila pribadi tersebut mampu menggunakan kemampuan berpikir rasionalnya untuk memecahkan masalah-masalah secara bijaksana. Selain itu pribadi yang bersangkutan dapat memahami kekuatan dan kelemahan dirinya serta mampu dan mau mengembangkan segala potensinya secara penuh (khususnya potensi baiknya),  memiliki motivasi untuk meningkatkan diri untuk meningkatkan atau menyempurnakan diri,  memiliki kontrol diri untuk menyeleksi pengaruh yang baik dan buruk,  dan dapat menyesuaikan diri di tengah-tengah nasyakatnya sehingga dia dapat digolongkan sebagai warganegara yang baik.

 

D.      KONDISI-KONDISI BAGI TIMBULNYA PENGUATAN

1.    Pandangan Umum mengenai konseling

        Sesuai dengan pandangan Williamson terhadap manusia, sebagai makhluk berfikir atau bersifat rasional, maka konseling dipandang sebagai proses yang bersifat rasional dan logis,  tetapi tetap dalam pengertian personalistik.  Mengenai tujuan konseling,  dianggap sama dengan tujuan pendidikan ataupun pengajaran. Konseling merupakan bagian yang komprehensif yang dipergunakan untuk menolong individu tumbuh,  memilih,  dan menetapkan tujuan,  baik tujuan pribadi sosial (tujuan yang ditetapkan oleh lingkungan: keluarga tetangga dan sebagainya) Tentang kedudukan konseling, williamson berpendapat bahwa konseling lebih luas daripada psikoterapi.  Alasannya,  psikoterapi sering dibatasi oleh,  antara lain: (a)  aspek perkembangan pribadi yang bersifat emosional; (b)  acapkali konflik diri diandang terlepas dari kehidupan nyata klien; (c)  sering terbatas pada penilaian klien terhadap pengalaman-pengalaman pribadinya dan bukan mengenai aktual behaviornya di dalam situasi sosialnya.  Sebaliknya, konseling memberikan perhatian pada interaksi pribdi dengan lingkungan sosial dan kebudayaan.  Konseling memperhatikan keduanya, baik  isi dari penyesuaian diri maupun sikap individu terhadap penyesuaian dirinya.  Konseling berusaha memadukan pendidikan,  bimbingan vokasional,  dinamika kepribadian dalam hubungan antar pribadi (sesama).

2.   Pengertian Konseling

    Williamson mengajukan batasan konseling yang bermacam-macam,  sebagai hasil konsepsinya.

a). Pengertian konseling yang pertama: "konseling adalah suatu proses yang bersifat pribadi dan individual yang dirancang untuk membantu individu mempelajari bahan ajar (subject metter) di sekolah, mengembangkan sifat-sifat kewarganegaraan, nilai-nilai sosial,  pribadi dan kebiasaan (yang baik),  keterampilan,  sikap dan keyakinan-keyakinan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri secara normal".

b). Pada definisi kedua,  ada segi baru yang ditonjolkan,  pentingnya perkembangan self-understanding dan terpenuhinya otonomi.  Dikatakan:  konseling adalah bantuan yang bersifat individual,  personal yang diliputi oleh suasana permisive dalam mengembangkan ketrampilan dan mencapai self-understanding dan self-direction yang secara sosial dibenarkan". 

c). Pada perkembangan berikutnya didefinisikan:  konseling adalah satu jenis khusus dari hubungan kemanusiaan yang relatif singkat antara mentor (konselor)  yang mempunyai pengalaman luas dalam masalah perkembangan manusia beserta cara/teknik menfasilitasinya dengan "leaner" (klien, siswa) yang menghadapi kesukaran dalam usahanya mengarahkan dan membina perkembangannya lebih lanjut".

d). Lebih lanjut,  konseling didefinisikan sebagai berikut:"  konseling adalah suatu cara/teknik untuk menfasilitasi individu untuk mendapatkan identitasnya,  mempermudah keinginannya memahami diri sendiri, dan dalam mewujudkan aspirasinya.

e). Definisi terakhir,  sebagai mana dihimpun Patterson(1980) 'interviu konseling yang secara umum lebih luas daripada psikoterapi,  merupakan satu jenis hubungan kemanusiaan (hangat, akrab/bersahabat dan empatik = warm,  friendly,  emphatic)  yang dengannya manusia/seseorang akan dapat belajar mengamati dirinya sebagai mana adanya dan menerima dirinya beserta segala kekurangannya, segala kesalahannya, dan dengan segala potensi serta kecakapannya yang positif.

        Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat kita amati bahwa konsep-konsep konseling oleh Williamson,  makin diperluas.  Mula-mula konseling hanya dipusatkan pada masalah-masalah khusus atau sekolompok masalah,  seperti kesukaran dalam pendidikan dan vocational,  menuju ke keseluruhan individu sebagai orang yang menghadapi masalah bagaimana menentukan identitasnya dan marealisasikan potensinya dalam segala bidang kehidupan sehingga dapat perkembangan potensi yang maksimal.

3.   Aspek-Aspek Hubungan Interview Konseling

    Aspek-aspek hubungan konseling menurut Williamson sebagai berikut : a). Interview konseling bersifat individual, b). Hubungan individual tersebut sangat pribadi (rahasia), c). Interview konseling merupakan hubungan yang bersifat membantu dan konselor memusatkan perhatiannya kepada konseli, d). Interview konseling merupakan hubungan yang bersifat developmental memperhatikan masa depan konseli, e). Interview konseling bersifat live centered (berpusat pada kehidupan), dalam arti memusatkan perhatian pada perkembangan individu terutama aspek self-concept dan self-perception, f). Interview konseling mempunyai hubungan dengan afeksi (unsur-unsur emosi). Meskipun konseling pada dasarnya bersifat rasional, unsur emosi tidak dihapuskan atau diabaikan, bahkan digunakan sebagai tenaga penggerak atau ntuk memotivasi, g). Hubungan interview konseling menekankan pada martabat dan harga diri individu sebagai pribadi, dan h). Hubungan interview konseling memusatkan perhatian ke usaha menggunakan kemampuan berpikir untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

    Berdasarkan kedelapan aspek di atas dapat ditegaskan bahwa hubungan konselor-konseli adalah dekat, akrab, dan pribadi. Namun begitu, hubungan konselor-konseli janganlah seperti hubungan orang tua dengan anak. Barangkali hubungan konselor-konseli dibandingkan hubungan-hubungan lain dapat digambarkan sebagai berikut : 

 

    Oleh karena itu, kalau misalkan konseli gagal dalam ujian, orang tua boleh dan wajar apabila menangis, tetapi konselor tidak boleh ikut menangis. Hal lain yang perlu ditegaskan adalah tugas konselor. Konselor bukan saja bertugas mengembangkan potensi siswa, tetapi juga bertugas mempengaruhi siswa untuk berkembang ke arah tertentu. Misalnya dalam bidang nilai, konselor boleh menunjukkan nilai-nilainya untuk dipertimbagkan siswa, tetapi tidak memaksakan kepada konseli. Contoh, ada konseli yang telah hamil diluar nikah dan ingin menggugurkan kandungannya karena malu kepada masyarakat sekitar. Dalam hal ini konselor dapat menawarkan alternatif untuk memperoleh hasil penyelesaian agar konseli tidak merasa malu lagi sedangkan kandungannnya tetap selamat.

    Komponen-komponen dalam konseling (konselor, konseli situasi hubungan dan tujuan) dalam konseling merupakan kondisi timbulnya perubahan, bukan berkaitan dengan ada tidaknya, tetapi juga pada bagaimananya. Konselor yang bagaimana yang dapat merupakan kondisi bagi timbulnya perubahan; konseli yang bagaimana yang dapat menunjang timbulnya perubahan; situasi yang bagaimana yang merupakan prasayrat bagi timbulnya perubahan.

1.  Konselor

    Sikap konselor yang harus ditunjukan oleh konselor ialah konselor harus dapat menempatkan diri sebagai seorang guru, menerima sebagian tanggungjawab atas keselamatan konseli (walaupun penanggungjawab utamanya adalahah konseli yang bersangkutan), bersedia mengarahkan konseli ke araah yang lebih baik, tidak netral sepenuhnya terhadap nilai, dan yakin terhadap situasi-situasi konseling yang efektif. Adapun keterampilan yang harus dimiliki konselor ialah memiliki pengalaman, keahlian dalam teori perkembangan manusia dan pemecahan masalah, dapat memanfaatkan teknik-teknik pemecahan individu baik teknik testing maupun teknik nontesting, dapat melaksanakan proses konseling secara fleksibel, dapat menerapkan strategi pengubahan tingkah laku beserta teknik-tekniknya, dan menjalankan ke empat peranan utamanya secara terpadu, yaitu : 1) menolong individu belajar memahami dan menerima dirinya sendiri yang meliputi kemampuan, bakat dan minatnya, 2) mengajar dan menolong individu untuk menggali motivasi-motivasinya sendiri dan teknik-teknik atau cara kehidupannya sendiri, 3) memperhitungkan dua kelompok aspek di atas (1 dan 2) dari segi konsekuensi atau implementasinya, 4) mengajar individu mengganti atau mengubah tingkah lakunya dengan yang lebih memadai untuk mencapai tujuan pribadinya.

2.  Konseli

        Peranan selama proses konseling adalah pertama, sebisa mungkin datang secara sukarela, tetapi jika konseli tersebut dikirim berdasarkan pengalaman, tidak terlalu beda efektivitasnya. Kedua, bersedia belajar memahami dirinya sendiri dan mengarahkan diri dengan mengubah responnya yang kurang tepat. Ketiga, menggunakan kemampuan berfikirnya untuk lebih memperbaiki dirinya, sehingga dapat mencapai kehidupan yang rasional dan memuaskan. Keempat, bekerjasama dengan konselor dan bersedia mengikuti arahan konselor dalam proses pengubahan.

3.  Situasi Hubungan

        Konseling trait and factor ditandai dengan ciri-ciri situasi hubungan sebagai berikut : a). Konseling merupakan suatu thingking relationship yang lebih mementingkan peranan berpikir rasional, tetapi tidak meningggalkan sama sekali aspek emosional seseorang. b). Konseling berlangsung dalam situasi hubungan yang bersifat pribadi, bersahabat, akrab dan empatik. c). Konseling yang berlangsung dapat bersifat remediatif maupaun developmental. d). Setiap pihak (konselor-konseli) melakukan peranannya secara proporsional.

4.  Tujuan konseling

Tujuan konseling menurut trait and factor sebagai berikut :

a.       Self-clarification (kejelasan diri)

b.      Self- understanding (pemahaman diri)

c.       Self-acceptance (penerimaan diri)

d.      Self-direction (pengarahan diri)

e.       Self-actualization (perwujudan diri)

 

TAHAP-TAHAP KONSELING

    Konseling trait and factor memiliki enam tahap dalam prosesnya, yaitu: analisis, sintesis, diagnosis, prognosis, konseling (treatment), dan follow-up. Ke enam tahap itu merupakan suatu urutan yang jelas dan logis, menggambarkan langkah-langkah yang lazim digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan atau kedokteran. Akan tetapi, dalam prakteknya urut-urutan tahap tersebut tidak digunakan secara kaku. Tahap-tahap itu digunakan secara fleksibel, bahkan dapat terjadi saling tumpang tindih (overlapping). Hal itu dapat terjadi, sebab dalam konsep konseling tersebut dimungkinkan untuk kembali pada tahap yang lebih awal (setelah mencapai tahap-tahap akhir) apabila dianggap tahap yang terdahulu memang belum sempurna, masih terdapat kekurangan-kekuranngan. Dari enam tahap yang dikemukakan konseling trait and factor, tahap pertama sampai keempat dapat dilakukan di luar sesi konseling, dilakukan tanpa bertatap muka dengan konseli. Konselor dapat saja melakukannya, misalnya dengan mempelajari catatan kumulatif siswa. Setelah selesai baru diadakan pertemuan dengan siswa dalam situasi konseling dengan sasaran utamanya menemukan pemecahan maasalah. Dengan demikian, untuk melaksanakan empat tahapan awal dalam konseling ala Williamson, yang dikenal sebagai tahap-tahap persiapan bagi wawancara konseling, dapat dilakukan dalam tiga cara. Pertama, dilaksanakan sekaligus bersama tahap konseling, pada suatu sesi tatap muka dengan konseli. Kedua, dilaksanakan di luar atau sebelum bertatap muka dengan konseli dalam suatu sesi konseling. Ketiga, cara kombinasi, yaitu dilakukan sebelum bertemu dengan koseli sejauh bisa, kemudian kekurangan-kekurangannya dilengkapi pada saat wawancara konseling berlangsung.

    Selama mengikuti tahap-tahap konseling, konseli bertanggung jawab penuh untuk belajar dalam proses memahami dirinya, sedang konselor berperan sebagai orang kedua atau mengambil peran pembantu sebagai layaknya seorang guru yang bertugas agar proses belajar dapat berlangsung sebaik-baiknya.

1.    Analisis

    Merupakan langkah mengumpulkan informasi tentang diri konseli beserta latar belakangnya. Informasi atau data yang dikumpulkan mencakup segala aspek kepribadian konseli, seperti kemampuan, minat, motif, kesehatan fisik, dan karakteristik lainnya yang dapat mempermudah atau mempersulit bagi pemerolehan penyesuaian diri yang memuaskan baik untuk kehidupannya di sekolah maupun dalam dunia kerja serta penyesuaian diri pada umumnya.

    Tujuan dari tahap analisis adalah untuk memperoleh pemahaman tentang diri siswa atau konseli dalam hubungannya dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh penyesuaian diri baik untukmasa sekarang maupun masa yang akan datang. Bagi tujuan itulah data tentang diri konseli dikumpulkan, dengan syarat data yang terkumpul harus valid, relevan, dan komprehensif. Untuk membuat analisis tentang diri konseli ini, konselor dapat menggunakan alat-alat tertentu. Enam alat yang dikemukakan Williamson (Patterson dalam Fauzan, 2004) adalah: Catatan kumulatif, Wawancara, Formal distribusi waktu, Otobiografi, Catatan anekdot, dan Tes psikologi.

    Selain menyebutkan enam alat di atas, diteranngkan pula oleh Patterson (Fauzan, 2004) mengenai studi kasus sebagai suatu alat, yaitu metode untuk memadukan semua data yang mencakup sejarah keluarga, sejarah kesehatan, sejarah pendidikan, sejarah pekerjaan atau jabatan, minat rekreasi dan sosial serta kebiasaan-kebiasaan. Ketika data obyektif tentang diri siswa dikumpulkan , konselor memperhatikan pikiran-pikiran (ide-ide) dan sikap konseli. Sikap konseli terhadap masalahnya, terhadap cara dan alat untuk mencapai penyesuaian yang optimum merupakan satu diantara yang penting dari seluruh  data analisis. Pentingnya data ini adalah bersangkut paut dengan kerja sama konseli. Jika konseli menunjukkan sikap kooperatif, berarti dia dapat bekerja sama dengan konselor. Selain itu, sikap konseli  juga memberi petunjuk bagi konselor mengenai keyakinan dan pemahaman konseli tentang konseling. Apabila dijumpai kesalahpahaman, konselor segera mengoreksinya.

        Untuk lebih memperjelas tentang data macam apa yang perlu dikumpulkan, dapat dibuat klasifikasi-klasifikasi:

a.    Data vertikal (menyangkut diri konseli), yang dapat dibagi lebih lanjut atas:

1)   Data fisik: kesehatan, ciri-ciri fisik, penampakan/penampilan fisik, dsb.

2)   Data psikis: bakat, minat, sikap, cita-cita, hobi, kebiasaan, dsb.

b.    Data horizontal (berkenaan dengan lingkungan konseli yang berpengaruh terhadapnya), yaitu: Keluarga konseli, hubungan dengan familinya, teman-temannya, orang-orang terdekatnya, lingkungan tempat tinggalnya, sekolahnya, dsb.

2.    Sintesis

            Adalah usaha merangkum, menggolong-golongkan dan menghubung-hubungkan data yang telah terkumpul pada tahap analisis, yang disusun sedemikian sehingga dapat menunjukkan keseluruhan gambaran tentang diri konseli. Rumusan diri konseli dalam sintesis ini bersifat ringkas dan padat. Dalam sintesis juga harus tercermin tentang kekurangan atau kelebihan dan kelemahan konseli, kemampuan penyesuaian diri malasuainya (maladjustments).

     Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam merangkum data pada tahap sintesis tersebut. Cara pertama, dibuat oleh konselor; kedua, dilakukan konseli; ketiga adalah cara kolaborasi atau kerjasama konseli-konselor. Dalam praktik, disarankan untuk menggunakan cara kolaborasi. Cara ini didahului dengan konselor meminta kepada konseli untuk membuat rangkuman, setelah itu, konselor menyempurnakan rangkuman yang telah dibuat konseli. Apabila konselor ingin lebih mempermudah dapat pula didahului dengan memberikan kerangka pada konseli dalam membuat rangkuman.

Contoh sistem kolaborasi:

Konselor: Baiklah Adi, sepanjang pembicaraan kita tadi telah kita bicarakan hal-hal mengenai diri Adi, keluarga Adi, sekolah Adi, dan pergaulan Adi dengan teman-teman. Barangkali Adi dapat mengemukakan hal itu secara ringkas.

Konseli: Ya… em… saya ingin belajar lebih baik untuk meningkatkan prestasi, tetapi saya sering diajak bolos oleh teman-teman. Teman-teman saya banyak. Dan…saya selalu mengikuti ajakan teman-teman. Selama ini, saya tidak dapat belajar secara tertib. Saya juga tidak punya kamar belajar sendiri, belajarnya di ruang tamu sehingga jika dipanggil teman ya…keluar, berhenti belajar. Em…yang lain lagi…ec…cukup itu Bu.

Konseli: Bagus, Adi telah dapat mengemukakan semuanya secara ringkas, namun untuk lebih jelasnya akan Ibu ulang lagi bahwa Adi adalah anak kedua dari empat bersaudara, yang berasal dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi relatif cukup tetapi perhatiannya terhadap sekolah Adi terbatas pada pemenuhan pembayaran SPP dan pembelian beberapa buku jika Adi minta. Adi selama ini tidak bisa belajar teratur, beberapa kali juga tidak masuk sekolah tanpa ijin, hanya untuk mengikuti kemauan teman-teman. Adi memang banyak memiliki teman baik di sekolah maupun di rumah. Mmengenai prestasi sekolah Adi sebenarnya di atas rata-rata, tetapi pada semester lalu prestasi Adi turun. Adi ingin dapat mengembalikan prestasinya dan ingin bisa belajar lebih baik. Adapun masalah yang Adi hadapi saat ini adalah masalah belajar.

3.    Diagnosis

    Merupakan tahap menginterpretasikan data dalam bentuk (dari sudut) problema yang ditunjukkan. Rumusan diagnosis dilakukan melalui proses pengambilan atau penarikan simpulan yang logis.

a.    Identifikasi masalah

    Pada langkah ini, dtemukan atau ditunjukkan masalah apa yang dialami konseli. Penetuan macam masalahnya didasarkan pada pengkategorian masalah baik ala Bordin atau Papinsky & Papinsky sebagaimana dijelaskan pada penggalan kedua. Identifikasi masalah ini merupakan langkah penentuan hakikat masalah yang sebenarnya, bukan gejala-gejalanya. Masalah yang diidentifikasikan mungkin satu atau lebih dari satu. Jika masalah lebih dari satu, dan berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya waktu, tidak akan tuntas bila dibahas bersama, konselor dapat membuat kesepakatan tentang pembatasan topik (dengan menggunakan teknik structuring berupa topic limit).

    Berikut contoh masalah identifikasi masalah atas kasus Adi dalam pola self-conflict:

“Pada dasarnya, ada dua hal yang bertentangan pada diri Adi; disatu sisi Adi ingin meningkatkan prestasi belajar atau nilai raport, sedang disisi lain Adi tidak dapat belajar tertib yang merupakan syarat mutlaknya”.

b.    Menemukan sebab-sebab (etiologi)

    Langkah ini merupakan langkah mencari sumber bagi timbulnya suatu masalah yang mencakup pencarian hubungan antara masa lalu, sekarang, dan masa depan yang mungkin menuntun kita untuk memahami sebab-sebab dari gejala (symtoms). Jika yang didapatkan hanya sedikit atau bahkan tidak ada hasil penelitian ilmiah atau pengetahuan berdasarkan pemikiran rasional dalam hubungannya dengan sebab-sebab gejala, konselor dapat pula menggunakan intuisinya untuk menduga-duga sebab-sebab tersebut yang kemudian dicek dengan logika maupun reaksi konseli. Dalam mencari sebab ini dapat dihubungkan (menggunakan) data yang terungkap pada tahap analisis, tetapi konselor harus dapat membedakan antara sebab dengan sekedar hubungan sederhana.

c.    Prognosis (tahap ke-4 dalam konseling)

    Menurut Williamson, prognosis merupakan bagian dari diagnosis. Prognosis ini bersangkutan dengan upaya memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan data yang ada sekarang. Misalnya: apabila seorang konseli berdasarkan data sekarang dia malas, maka kemungkinan nilainya akan rendah; jika inteligensinya rendah, kemungkinan nanti tidak dapat diterima dalam Sipenmaru dsb.

    Pada tahap atau langkah prognosis ini, koseli diajak untuk menyadari kemungkinan yang akan terjadi jika keadaan seperti sekarang ini tetap berlanjut. Misalnya: “menurut Adi, apabila keadaan seperti sekarang ini terus berlanjut atau tetap saja, kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi?” (tentu akan muncul kemungkinan-kemungkinan yang buruk). Selanjutnya, konseli dapat ditanya lebih lanjut, apakah konseli akan mau mengalami hal-hal semacam itu. Dengan demikian, konseli diajak berpikir untuk merencanakan suatu perubahan. Apabila secara tegas maupun samar konseli telah menyatakan keinginan atau niat untuk berubah, maka untuk lebih memantapkan, tanyakan pula kemungkinan apa yang akan terjadi bila kondisi sekarang berubah (tentu akan muncul kemungkinan-kemungkinan yang baik). Sekali lagi kemungkinan, dan hanya kemungkinan. Konselortidak diperbolehkan meloncat terlalu jauh untuk mengatakannya sebagai simpulan.

4.    Konseling (treatment)

    Dalam konseling, konselor membantu konseli untuk menemukan sumber-sumber pada dirinya sendiri, sumber-sumber lembaga dan masyarakat guna membantu konseli mencapai penyesuaian yang optimum sejauh dia bisa. Bantuan dalam konseling ini mencakup lima jeniss bantuan:

a.     Hubungan konseling yang mengacu pada belajar yang terbimbing ke arah pemahaman diri.

b.  Konseling jenis reedukasi atau belajar kembali yang individu butuhkan sebagai  alat untuk mencapai penyesuaian hidup dan tujuan personalnya.

c.    Konseling dalam bentuk bantuan yang dipersonalisasikan untuk konseli dalam memahami dan untuk terampil mengalikasikan prinsip dan teknik dalam kehidupan sehari-hari.

d.   Konseling yang mencakup bimbingan dan teknik yang mempunyai pengaruh terapeutik atau kuratif

e.      Konseling bentuk reedukasi bagi diperolehnya katarsis secara terapeutik.

   Dengan mendasarkan tipe-tipe bantuan tersebut, sesuai dengan masalah konseli, pada tahap konseling ini dikembangkan bebeerapa alternative pemecahan masalah. Melalui pengujian untung rugi atau kelebihan dan kekurangan setiap alternative yang terbaik atau paling mungkin diilaksanakan.

5.    Follow-up

    Tindak lanjut merujuk pada segala kegiatan membantu siswa setelah mereka memperoleh layanan konseling, tetapi kemudian menemui masalah-masalah baru atau munculnya kembali masalah yang lampau. Tindak lanjut ini juga mencakup penentuan keefektifan konseling yang telah dilaksanakan.

Strategi Implementasi

    Sebagai pedoman dalam mengimplementasikan pemecahan masalah, Williamson mengemukakan 5 macam strategi (teknik umum), yaitu:

1.   Forcing conformity (memaksa penyesuaian), dipilih apabila lingkungan memang tidak dapat diubah. Seperti: siswa harus mau mengikuti atau menerima pelajaran dari ibu guru matematika yang judes yang sebenarnya tidak disenangi siswa.

2.   Changing the envirpnment (mengubah lingkungan), dipilih bila memang tidak memungkinkan, konseli memiliki kekuatan atau kemampuan melakukannya. Lingkungan ini mencakup apa dan siapa. Contoh: ruang belajar yang semula mengahadap jendela dan jalan raya dibalik menjadi membelakangi, tidak dapat  konsentrasi belajar karena tiap belajar ada anak yang ribut di luar, maka anak-anak itu disuruh pindah atau diusir.

3.    Selecting the appropriate environment (memilih lingkungan yang cocok), contoh: ada beberapa tempat belajar yang dapat dimanfaatkan, yaitu, di perpustakaan, di rumah sendiri dan di rumah teman. Pada tempat mana siswa lebih banyak belajar?

4.  Learning needed skills (belajar keterampilan-keterampilan yang diperlukan), contoh: belajar keterampilan bergaul, keterampilan membat paper, dan sebagainya.

5. Changing attitude (mengubah sikap), sikap merupakan kecenderungan seseorang dalam menanggapi sesuatu, dan arahnya juga pada siapa dan pada apa. Beberapa sikap diri perlu diubah kalau tidak menguntungkan, misalnya: sikap segan untuk bertanya.

         Betapapun rumitnya masalah yag dialami siswa, dengan berpedoman pada beberapa macam strategi pengubahan di atas, anda akan segera memperoleh titik terang bagi pemecahan masalah, sesuai dengan hakikat masalah dan individualitas siswa.

Teknik-Teknik dalam Konseling

1.  Establishing Rapport (menciptakan hubungan baru)

    Untuk mempercepat adanya hubungan yang baik antara konselor dan konseli, maka konselor perlu menciptakan suasana yang hangat dengan bersikap ramah dan akrab, yang dapat dilakukan dengan tindakan-tindakan yang membuat konseli merasa aman dan dihargai sejak penyambutan, seperti menyebut nama konseli, berjabat tangan, mempersilahan duduk, dan mengawali pembicaraan dengan topik netral. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencapaian rapport adalah

a.  Reputasi konselor, khususnya reputasi berkaian kompetensi konselor misalnya konselor harus memiliki nama baik dimata konseli

b.    Penghargaan dan perhatian konselor pada individu

c.    Kemampuan konselor dalam menyimpan rahasia.

2.    Cultivating Self-Understanding (mempertajam pemahaman diri)

    Konselor perlu berusaha agar konseli lebih memahami dirinya yang mencakup

segala kelebihan maupun kekurangannya, dan dibantu untuk menggunkan kekuatan dan mengatasi kekurangannya. Untuk itu konselor dituntut untuk menginterpretasi data konseli, termasuk data hasil testing.

3.  Adsiving or planning a program of action (memberi nasehat atau membantu merencanakan program tindakan)

    Pada teknik ini, konselor memulai dari apa yang menjadi pilihan, tujuan, pandangan, dan sikap konseli. Kemudian mengemukakan alternatif untuk dibahas dari segi positif dan negatifnya, manfaat, dan kerugiannya. Selanjutnya konselor menyamppaikan nasehat-nasehat secukupnya dan mendorong konseli untuk menyampaikan ide-ide sendiri untuk dipertimbangkan. Ada tiga cara dalam memberikan nasehat:

a.     Dirrect advice (nasehat langsung), secara jelas dan terbuka konselor mengemukakan pendapatnya. Cara ini dilakukan bila konseli memang tidak mengetahui betul apa yang haus diperbuat atau diinginkan.

b.  Persuasive, dilakukan bila konseli telah mampu menunjukkan alasan yang logis atas pilihan-pilihannya tetapi belum mampu menentukan pilihan.

c.  Explanatory (penjelasan), dilakukan apabila konseli telah dapat mengajukan pilihan termasuk pertimbangan baik buruknya. Konselor memberikan nasehat dengan menjelaskan implikasi-implikasi keputusan konseli.

4.  Carrying out the plan (melaksanakan rencana)

    Mengikuti pilihan atau keputusan konseli, maksudnya konselor dapat memberikan bantuan langsung bagi implementasi atau pelaksanaanya. Bantuan yang diberikan misalnya rencana atau program pendidikan dan pelatihan atau usaha-usaha perbikan lainnya. Seperti apabila dalam keputusan konseli akan menemui gurunya, maka konseli diajak mendiskusikan kapan hal tersebut dilakukan, dimana, dengan cara apa, dengan siapa, dan sebagainya.

5.  Refferal (Pengiriman pada ahli lain)

    Pada kenyataannya tidak ada konselor yang ahli dalam memecahkan segala permasalahan siswa. Oleh karenaa itu konselor perlu menyadari akan keterbatasannya. Apabila konselor merasa tidak mampu menyelesaikan masalah konseli maka konselor perlu mengirimka konseli pada ahli yang lain yang lebih mampu. Tentunya dengan persetujuan konseli dan ahli yang dituju.